Pemerintah Provinsi
Aceh telah menetapkan burung cempala kuneng sebagai fauna identitas (maskot)
provinsi tersebut. Sebenarnya seperti apa sih burung cempala kuneng? Cempala
kuneng merupakan nama lokal di Aceh, sedangkan nama resmi yang disepakati para
ornitholog Indonesia
adalah kucica ekor kuning atau rufous-tailed shama (Trichixos pyrropygus). Dulu sempat
dimasukkan dalam genus Copsychus, dengan nama spesies Copsychus pyrropygus,
alias masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan murai batu (Copychus malabaricus).
Dalam beberapa hal, penampilan burung ini memang
mirip dengan murai batu. Perbedaan utama terletak pada bulu ekor yang berwarna
kuning. Karena itulah burung ini dinamakan kucica ekor kuning. Di mancanegara,
selain memiliki nama resmi rufous tailed-shama, ada juga yang menyebutnya
sebagai orange-tailed shama. Kicaumania di Malaysia menyebutnya sebagai murai
ekor jingga.
Ya, kucica ekor kuning sebenarnya bukan burung endemik di Aceh. Burung yang tidak memiliki subspesies / ras ini mempunyai wilayah persebaran mulai dari Thailand Selatan, wilayah barat Semenanjung Malaysia, serta Sumatera dan Kalimantan (termasuk Brunei, Sabah dan Serawak).
Ya, kucica ekor kuning sebenarnya bukan burung endemik di Aceh. Burung yang tidak memiliki subspesies / ras ini mempunyai wilayah persebaran mulai dari Thailand Selatan, wilayah barat Semenanjung Malaysia, serta Sumatera dan Kalimantan (termasuk Brunei, Sabah dan Serawak).
Kalau Pemerintah Provinsi Aceh menjadikan kucica
ekor kuning sebagai fauna identitas, itu ada latar sejarah masa lampau yang
harus diapresiasi. Burung ini rupanya menjadi kegemaran masyarakat
Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Bahkan
cempala kuneng alias kucica ekor kuning sering disebut-sebut dalam hikayat Aceh.
Postur tubuhnya seukuran murai batu, dengan panjang tubuh sekitar 21 cm. Bentuk tubuhnya juga mirip murai batu, hanya berbeda warna, motif, dan panjang ekornya saja.
Burung jantan memiliki perbedaan warna dari burung betina. Pada jantan dewasa, tubuh bagian atas berwarna hitam. Bagian tenggorokan dan dada juga hitam. Sedangkan perut hingga daerah kloaka berwarna oranye. Burung jantan juga memiliki alis berwarna putih. Ekornya berwarna oranye.
Pada burung betina dewasa, warna tubuh bagian atas cokelat. Bagian perut berwarna cokelat muda. Selain itu, burung betina tidak memiliki alis putih di atas matanya. Burung muda, baik jantan maupun betina, memilki warna tubuh lebih cokelat dengan bintik-bintik kuning atau merah karat.
Postur tubuhnya seukuran murai batu, dengan panjang tubuh sekitar 21 cm. Bentuk tubuhnya juga mirip murai batu, hanya berbeda warna, motif, dan panjang ekornya saja.
Burung jantan memiliki perbedaan warna dari burung betina. Pada jantan dewasa, tubuh bagian atas berwarna hitam. Bagian tenggorokan dan dada juga hitam. Sedangkan perut hingga daerah kloaka berwarna oranye. Burung jantan juga memiliki alis berwarna putih. Ekornya berwarna oranye.
Pada burung betina dewasa, warna tubuh bagian atas cokelat. Bagian perut berwarna cokelat muda. Selain itu, burung betina tidak memiliki alis putih di atas matanya. Burung muda, baik jantan maupun betina, memilki warna tubuh lebih cokelat dengan bintik-bintik kuning atau merah karat.
Di Aceh, burung cempala kuneng bisa dijumpai di
kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sayangnya, populasinya dari waktu
ke waktu makin menipis, sehingga kini makin sulit ditemukan di habitat aslinya.
IUCN Red List pun menetapkan statusnya
sebagai Near Threatened / NT (Hampir Terancam).
Semua ini ini akibat maraknya perburuan liar di masa
lampau, juga perambahan hutan secara besar-besaran di Aceh belakangan ini. Itu
sebabnya, Pemprov Aceh juga melarang penangkapan dan perdagangan burung cempala
kuneng, termasuk membawanya keluar dari wilayah provinsi. Populasi cempala kuneng / kucica ekor-kuning makin menyusut. Kalau kucica ekor kuning menjadi kegemaran masyarakat
Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, bisa dibayangkan pasti
suaranya merdu. Sayangnya, Om Kicau belum memperoleh informasi maupun audio dan
video yang menunjukkan kemerduan suara dari burung ini.
Belum ada informasi apakah burung ini mampu
menirukan suara burung lain, ataupun bisa berkicau dengan lagu yang bervariasi
seperti murai batu. Tetapi melihat dari jenis burung dan karakter suaranya,
kemungkinan besar kucica ekor-kuning juga dapat menirukan suara burung
lainnya dengan sangat baik.
Beo Nias
Beo
nias merupakan salah satu subspesies (anak jenis) burung beo yang hanya
terdapat (endemik) di pulau Nias, Sumatera Utara. Beo nias yang mempunyai
ukuran paling besar dibandingkan subspesies beo lainnya paling populer dan
banyak diminati oleh para penggemar burung beo lantaran kepandaiannya dalam
menirukan berbagai macam suara termasuk ucapan manusia. Sayang, beo nias yang
endemik Sumatera Utara ini semakin hari semakin langka.
Subspesies
beo yang mempunyai nama latin Gracula religiosa robusta ini sering disebut juga
sebagai Ciongatau Tiong. Dalam bahasa Inggris, burung endemik ini biasa disebut
Common Hill Myna.
Ciri dan Tingkah Laku Beo Nias.
Beo nias (Gracula
religiosa robusta) termasuk burung berukuran sedang dengan panjang tubuh
sekitar 40 cm. Ukuran beo nias lebih besar dari pada jenis beo lainnya.
Kepala burung beo nias
Bagian kepala burung
beo nias berbulu pendek. Sepanjang cuping telinga beo nias menyatu di belakang
kepala yang bentuknya menggelambir ke arah leher. Gelambir cuping telinga ini
berwarna kuning mencolok.
Di bagian kepala beo nias juga terdapat sepasang pial yang berwarna kuning dan terdapat di sisi kepala. Iris mata burung endemik ini berwarna coklat gelap. Paruhnya runcing berwarna kuning agak oranye. Hampir seluruh badan beo nias tertutup bulu yang berwarna hitam pekat, kecuali pada bagian sayap yang berbulu putih. Kaki burung endemik nias ini berwarna kuning dengan jari-jari berjumlah empat. Tiga jari di antaranya menghadap ke depan, sedangkan sisanya menghadap ke belakang.
Beo nias (Gracula religiosa robusta) hidup secara
berpasangan atau berkelompok. Burung pengicau endemik pulau Nias ini biasa
bersarang dengan membuat lubang pada batang pohon yang tinggi dan tegak. Burung
beo nias adalah pemakan buah-buahan dan sesekali memakan serangga.
Ciri yang membedakan burung beo nias dengan jenis beo
lainnya adalah ukuran tubuhnya yang lebih besar serta sepasang gelambir cuping
telinga berwarna kuning pada Beo Nias yang menyatu sedangkan beo biasa
terpisah.
Habitat dan Persebaran
Burung beo nias
(Gracula religiosa robusta) merupakan satwa endemik Sumatera Utara yang hanya
bisa dijumpai di Pulau Nias dan sekitarnya seperti Pulau Babi, Pulau Tuangku,
Pulau Simo dan Pulau Bangkaru.
Burung beo nias (Gracula religiosa robusta) endemik Sumatera
Utara. Burung beo nias menyukai hutan yang dekat perkampungan atau tempat terbuka
pada daerah dataran rendah hingga ketinggian 1000 meter dpl. sebagai
habitatnya.
Populasi
dan Konservasi
Populasi burung endemik yang menjadi fauna identitas
Sumatera Utara ini hingga sekarang tidak diketahu dengan pasti. Namun yang
pasti semakin hari burung pengicau ini semakin sulit ditemukan di alam liar.
Bahkan IPB bersama Kementerian Kehutanan yang pernah melakukan penelitian dari
1996-1997 hanya bisa menemukan 7 ekor burung beo nias saja.
Secara umum spesies beo didaftar sebagai Least Concern dalam
IUCN Redlist dan dimasukkan dalam CITES Apendiks II, namun populasi beo nias
yang trerdapat di alam liar semakin langka.
Di Indonesia, beo nias menjadi salah satu satwa yang
dilindungi bahkan oleh pemerintah kolonial Belanda sekalipun. Berbagai peraturan
perundangan yang menyertakan beo nias dalam daftar satwa yang dilindungi dari
kepunahan antara lain Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931, Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970, Undang-undang No. 5 Tahun
1990, dan Peraturan pemerintah No. 7 Tahun 1999.
Semoga saja beo nias, Sang Peniru yang ulung ini masih
mendapat perhatian dari kita semua untuk bisa bertahan di alam liar dan
janganlah tergantikan oleh manusia-manusia yang suka membeo.
Harimau Sumatera
Nama Latin: Panthera tigris sumatrae
Harimau Sumatera merupakan satu dari enam sub-spesies
harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan termasuk dalam
klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered). Jumlah populasinya di alam bebas hanya
sekitar 400 ekor. Sebagai predator utama dalam rantai makanan, harimau
mempertahankan populasi mangsa liar yang ada di bawah pengendaliannya, sehingga
keseimbangan antara mangsa dan vegetasi yang mereka makan dapat terjaga.
Harimau Sumatera menghadapi dua jenis ancaman untuk
bertahan hidup: mereka kehilangan habitat karena tingginya laju deforestasi dan
terancam oleh perdagangan illegal dimana bagian-bagian tubuhnya
diperjualbelikan dengan harga tinggi di pasar gelap untuk obat-obatan
tradisional, perhiasan, jimat dan dekorasi. Harimau Sumatera hanya dapat ditemukan
di pulau Sumatera, Indonesia.
Ciri-ciri Fisik
- Harimau Sumatera memiliki tubuh yang relatif paling kecil dibandingkan semua sub-spesies harimau yang hidup saat ini.
- Jantan dewasa bisa memiliki tinggi hingga 60 cm dan panjang dari kepala hingga kaki mencapai 250 cm dan berat hingga 140 kg. Harimau betina memiliki panjang rata-rata 198 cm dan berat hingga 91 kg.
- Warna kulit harimau Sumatera merupakan yang paling gelap dari seluruh harimau, mulai dari kuning kemerah-merahan hingga oranye tua.
Ancaman
Harimau Sumatera berada di ujung kepunahan karena hilangnya habitat secara tak terkendali, berkurangnya jumlah spesies mangsa, dan perburuan. Laporan tahun 2008 yang dikeluarkan oleh TRAFFIC – program kerja sama WWF dan lembaga Konservasi Dunia, IUCN, untuk monitoring perdagangan satwa liar – menemukan adanya pasar ilegal yang berkembang subur dan menjadi pasar domestik terbuka di Sumatera yang memperdagangkan bagian-bagian tubuh harimau. Dalam studi tersebut TRAFFIC mengungkapkan bahwa paling sedikit 50 harimau Sumatera telah diburu setiap tahunnya dalam kurun waktu 1998- 2002. Penindakan tegas untuk menghentikan perburuan dan perdagangan harimau harus segera dilakukan di Sumatera.
Harimau Sumatera berada di ujung kepunahan karena hilangnya habitat secara tak terkendali, berkurangnya jumlah spesies mangsa, dan perburuan. Laporan tahun 2008 yang dikeluarkan oleh TRAFFIC – program kerja sama WWF dan lembaga Konservasi Dunia, IUCN, untuk monitoring perdagangan satwa liar – menemukan adanya pasar ilegal yang berkembang subur dan menjadi pasar domestik terbuka di Sumatera yang memperdagangkan bagian-bagian tubuh harimau. Dalam studi tersebut TRAFFIC mengungkapkan bahwa paling sedikit 50 harimau Sumatera telah diburu setiap tahunnya dalam kurun waktu 1998- 2002. Penindakan tegas untuk menghentikan perburuan dan perdagangan harimau harus segera dilakukan di Sumatera.
Populasi Harimau Sumatera yang hanya sekitar 400 ekor saat ini tersisa di
dalam blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut, dan hutan hujan pegunungan.
Sebagian besar kawasan ini terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan
perkebunan komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan
jalan. Bersamaan dengan hilangnya hutan habitat mereka, harimau terpaksa
memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia dan seringkali dibunuh atau
ditangkap karena tersesat memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan tanpa
sengaja dengan manusia.
Provinsi Riau adalah rumah bagi sepertiga dari
seluruh populasi harimau Sumatera. Sayangnya, sekalipun sudah dilindungi secara
hukum, populasi harimau terus mengalami penurunan hingga 70 persen dalam
seperempat abad terakhir. Di Provinsi Riau, saat ini diperkirakan hanya tersisa
192 ekor harimau di Riau.
Upaya yang Dilakukan WWF
WWF bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, organisasi konservasi lainnya, dan masyarakat setempat untuk menyelamatkan harimau Sumatera dari ancaman kepunahan. WWF juga berupaya melakukan pendekatan dan bekerja sama dengan perusahaan yang konsesinya mengancam habitat harimau agar mereka mampu menerapkan praktik-praktik pengelolaan lahan yang lebih baik (Better Management Practices) dan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia di tahun 2004 telah mendeklarasikan sebuah kawasan penting, Tesso Nilo, sebagai taman nasional untuk memastikan perlindungan gajah dan harimau Sumatera di alam. WWF juga berpartisipasi aktif dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017 yang dipimpin oleh Departemen Kehutanan RI.
WWF bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, organisasi konservasi lainnya, dan masyarakat setempat untuk menyelamatkan harimau Sumatera dari ancaman kepunahan. WWF juga berupaya melakukan pendekatan dan bekerja sama dengan perusahaan yang konsesinya mengancam habitat harimau agar mereka mampu menerapkan praktik-praktik pengelolaan lahan yang lebih baik (Better Management Practices) dan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia di tahun 2004 telah mendeklarasikan sebuah kawasan penting, Tesso Nilo, sebagai taman nasional untuk memastikan perlindungan gajah dan harimau Sumatera di alam. WWF juga berpartisipasi aktif dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017 yang dipimpin oleh Departemen Kehutanan RI.
Melalui momentum Kampanye
Tahun Harimau 2010, WWF-Indonesia secara aktif mendorong dimasukkannya enam
lanskap prioritas harimau Sumatra kedalam
Program Nasional Pemulihan Harimau Sumatra. Program nasional tersebut kemudian
diadopsi sebagai program global oleh 13 negara sebaran harimau dalam
International Tiger Forum di St. Petersburg, Russia Nov 2010. Landskap prioritas
perlindungan harimau Sumatra tersebut adalah Ulu Masen, Kampar-Kerumutan, Bukit
Tigapuluh, Kerinci Seblat, Bukit Balai Rejang Selatan, dan Bukit Barisan
Selatan.
WWF terus melakukan penelitian ilmiah tentang harimau
Sumatera di Riau dengan menggunakan kamera jebakan (camera trapping) untuk memperkirakan besarnya populasi, habitat,
dan distribusi satwa loreng tersebut, serta untuk mengidentikasi
koridor-koridor satwa liar yang membutuhkan perlindungan. WWF--bersama dengan
mitra terkait di lapangan--juga membentuk tim patroli anti perburuan dan tim
pendidikan dan penyadaran yang bertugas membantu masyarakat lokal memitigasi konflik
manusia-harimau di daerah-daerah rawan konflik harimau.
Habitat
Harimau Sumatera hanya ditemukan di pulau Sumatera. Kucing besar ini mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan, dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi. Hanya sekitar 400 ekor tinggal di cagar alam dan taman nasional, dan sisanya tersebar di daerah-daerah lain yang ditebang untuk pertanian, juga terdapat lebih kurang 250 ekor lagi yang dipelihara di kebun binatang di seluruh dunia. Harimau Sumatera mengalami ancaman kehilangan habitat karena daerah sebarannya seperti blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut dan hutan hujan pegunungan terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan. Karena habitat yang semakin sempit dan berkurang, maka harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia, dan seringkali mereka dibunuh dan ditangkap karena tersesat memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan yang tanpa sengaja dengan manusia.
Harimau Sumatera hanya ditemukan di pulau Sumatera. Kucing besar ini mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan, dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi. Hanya sekitar 400 ekor tinggal di cagar alam dan taman nasional, dan sisanya tersebar di daerah-daerah lain yang ditebang untuk pertanian, juga terdapat lebih kurang 250 ekor lagi yang dipelihara di kebun binatang di seluruh dunia. Harimau Sumatera mengalami ancaman kehilangan habitat karena daerah sebarannya seperti blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut dan hutan hujan pegunungan terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan. Karena habitat yang semakin sempit dan berkurang, maka harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia, dan seringkali mereka dibunuh dan ditangkap karena tersesat memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan yang tanpa sengaja dengan manusia.
Habitat
Harimau Sumatera hanya
ditemukan di pulau Sumatera. Kucing besar ini mampu hidup di manapun, dari
hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan, dan tinggal di banyak tempat yang
tak terlindungi. Hanya sekitar 400 ekor tinggal di cagar alam dan taman
nasional, dan sisanya tersebar di daerah-daerah lain yang ditebang untuk
pertanian, juga terdapat lebih kurang 250 ekor lagi yang dipelihara di kebun
binatang di seluruh dunia. Harimau Sumatera mengalami ancaman kehilangan
habitat karena daerah sebarannya seperti blok-blok hutan dataran rendah, lahan
gambut dan hutan hujan pegunungan terancam pembukaan hutan untuk lahan
pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan
dan pembangunan jalan. Karena habitat yang semakin sempit dan berkurang, maka
harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia, dan
seringkali mereka dibunuh dan ditangkap karena tersesat memasuki daerah
pedesaan atau akibat perjumpaan yang tanpa sengaja dengan manusia.
Harimau Sumatera juga
mampu berenang dan memanjat pohon ketika memburu mangsa. Luas kawasan perburuan
harimau Sumatera tidak diketahui dengan tepat, tetapi diperkirakan bahwa 4-5
ekor harimau Sumatera dewasa memerlukan kawasan jelajah seluas 100 kilometer di
kawasan dataran rendah dengan jumlah hewan buruan yang optimal (tidak diburu
oleh manusia).
Reproduksi
Harimau Sumatera dapat berbiak kapan saja. Masa kehamilan adalah sekitar 103 hari. Biasanya harimau betina melahirkan 2 atau 3 ekor anak harimau sekaligus, dan paling banyak 6 ekor. Mata anak harimau baru terbuka pada hari kesepuluh, meskipun anak harimau di kebun binatang ada yang tercatat lahir dengan mata terbuka. Anak harimau hanya minum air susu induknya selama 8 minggu pertama. Sehabis itu mereka dapat mencoba makanan padat, namun mereka masih menyusu selama 5 atau 6 bulan. Anak harimau pertama kali meninggalkan sarang pada umur 2 minggu, dan belajar berburu pada umur 6 bulan. Mereka dapat berburu sendirian pada umur 18 bulan, dan pada umur 2 tahun anak harimau dapat berdiri sendiri. Harimau Sumatera dapat hidup selama 15 tahun di alam liar, dan 20 tahun dalam kurungan.
Kingdom: Animalia
Phylum: Chordata
Subphylum: Vertebrata
Class: Reptilia
Order: Testudine
A3. Family: Chelydridae (Common Snapping Turtle, dan Alligator Snapping Turtle)
A4. Family: Dermatemydidae (White Turtle).
A5. Family: Dermochelyidae (Leatherback Turtle): hidup di Jawa, Bali, Sumatera, Papua. Hanya ada satu jenis suku penyu ini yaitu penyu belimbing (Dermochelys coriacea).
A6. Family: Emydidae (Kura-kura air tawar): yang banyak ditemukan di Indonesia adalah kura-kura telinga merah (Trachemys scripta).
A7. Family: Geoemydidae (Keluarga Testudinae terbesar)
A7.3. Genus: Coura
Species: Coura amboinensis
A7.4. Genus: Callagur
Species: Callagur borneoensis (Critically Endangered)
A7.5. Genus: Geoemyda
Species: Geoemyda spengleri
A7.6. Genus: Heosemys
Species: Heosemys spinosa
(Endangered)
A7.7. Genus: Malayemys
Species: Malayemys Subtrijuga (Vulnerable)
A7.8. Genus: Notochelys
Species: Notochelys platynota (Kura Pipih – Vulnerable)
A7.9. Genus: Orlitia
Species: Orlitia borneensis (Endangered)
A7.10. Genus: Siebenrockiella
Species: Siebenrockiella crassicollis
(Vulnerable)
A7.11. Genus: Leucocephalon
Species: Leucocephalon yuwonoi (Sulawesi Forest Turtle (Critically Endangered):hanya ada di Indonesia.
A7.12. Genus: Hieremys
/ Species: Hieremys annandalii (The Yellow-headed Temple Turtle)
A8. Family: Kinosternidae: Kura-kura air tawar.
A9. Family: Platysternidae - (The Big-headed Turtle): kura-kura pemanjat pohon.
A10. Family: Testudinidae (Tortoise / Kura-kura Darat)
Kura-kura yang masuk dalam famili ini-lah yang seringkali disebut sebagai kura-kura darat sejati, karena hidup sepenuhnya di darat. Kura-kura dari famili ini juga dikenal sebagai kura-kura yang bisa berumur panjang, dan berbadan raksasa. Berikut ini adalah dua jenis kura-kura darat asal Indonesia.
A10.1. Genus: Manouria
Species: Manouria emys (Baning coklat) Berasal dari Sulawesi.
A10.2. Genus: Indotestudo
Species: Indotestudo forstenii (Baning Sulawesi) Berasal dari di Sulawesi.
A11. Family: Trionychidae (Soft-shell Turtles / Labi-labi)
A11.1. Genus: Amyda
Species: Amyda cartilaginea (Bulus) (Vulnerable). Ini dia asal kata ’si akal bulus’ berasal.
A11.2. Genus: Dogania
Species: Dogania Sublana (labi-labi hutan)
A11.3. Genus: Chitra
Species: Chitra chitra (labi-labi bintang) (Critically Endangered)
A11.4. Genus: Pelochelys
Species: Pelochelys bibroni (labi-labi Irian – Vulnerable)
Species: Pelochelys cantorii (labi-labi raksasa – Endangered)
B. SUBORDER: Pleurodira
B1. Family: Chelidae (Kura-kura Leher Ular): Berleher panjang, kepalanya tidak dapat dimasukkan ke dalam cangkang, banyak terdapat di Indonesia bagian Timur, terutama Irian Jaya.
B1.1. Genus: Chelodina (lihat: chelodinae.com)
Species: Chelodina novaeguineae
Species: Chelodina siebenrocki
Species: Chelodina reimanni (Reimann’s Snake-necked Turtle): hanya ada di Indonesia.
Species: Chelodina mccordi (Roti Island Snake-necked Turtle – Critically Endangered): berasal dari Roti Island
Species: Chelodina parkeri (Parker’s Snake-necked Turtle – Vulnerable)
B1.2. Genus: Elseya
Species: Elseya novaeguineae
Species: Elseya branderhorstii (Vulnerable): hanya ada di Indonesia
Species: Elseya schultzei
B1.3. Genus: Emydura
Species: Emydura subglobosa
B2. Family: Pelomedusidae. Anggota suku ini merupakan kura-kura air tawar. Kura-kura ini hidup di Amerika Selatan, Afrika dan Madagaskar dan tidak ditemukan di Indonesia.
update:
water dragon
water dragon, yang konon di kabarkan bersarang di antartika dan sebagian berada di daratan es di greenland. walaupun di sebut naga air namun berbentuk seperti kura-kura, menurut pada ahli dragonologi, kura-kura adalah jenis evolusi trakhir dari naga laut.
Gajah Sumatra (Elephas Maximus Sumatrensis) adalah salah satu dari sub spesies gajah Asia yang memiliki habitat di Pulau Sumatera serta menjadi mamalia terbesar di Indonesia. Seluruh sub spesies gajah Asia merupakan Satwa Terancam Punah (Critically Endangered) sejak tahun 1986 yang tercatat dalam daftar merah Lembaga Konservasi Dunia (IUCN-RedList). Gajah Sumatera menghadapi ancaman serius berpa kegiatan deforestasi hutan, pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, perburuan gading gajah, maupun pembunuhan akibat konflik gajah-manusia. Percepatan konversi hutan menjadi perkebunan dan tanaman komersial mengancam kelangsungan hidup populasi gajah sumatra dalam jangka panjang. Saat ini populasi gajah sumatera berkisar antara 2.400 - 2.800 ekor yang tersebar di beberapa kantong populasi. Sama seperti Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) yang juga terancam punah, kedua sedang diupayakan konserasi alam habitat dan kelangsungan hidupnya di Taman Nasional Tesso Nilo Riau (TNTN-Riau).
Hewan yang berjenis jantan dapat mencapai tinggi 1,7-2,6 meter dengan berat 4-6 ton serta memiliki gading gajah sumatra jantan yang lebih pendek dari spesies gajah Asia lainnya terutama Gajah India yang memiliki postur tubuh yang besar. Sedangkan gajah Sumatra betina memiliki gading yang sangat pendek dan tersembungi di balik bibir atasnya. Gajah Sumatra (Elephas Maximus Sumatrenus) biasa berjalan menjelajah sejauh 20 km per hari untuk mencari makan berupa daun-daun. Dalam sehari gajah butuh 150kg daun-daunan dan 180 liter air minum. Herbivora raksasa ini dapat berumur sampai 70 tahun di alam liar dan sangat cerdas karena memiliki otak yang lebih besar dibandingkan dengan mamalia darat lain. Telinga yang cukup besar membantu gajah mendengar dengan baik dan membantu mengurangi panas tubuh seperti darah panas dingin ketika mengalir di bawah permukaan telinga. Belalainya digunakan untuk mendapatkan makanan dan air, dan memiliki tambahan dapat memegang (menggenggam) di ujungnya yang digunakan seperti jari untuk meraup.
Belalai dan Gading Gajah Sumatera
Flying Squad Gajah Sumatra Tesso Nilo - Riau
Anak Gajah Sumatra
Mengenal Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatrenus)
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Proboscidea
Famili : Elephantidae
Genus : Elephas
Spesies : E. maximus
Upaspesies : E. m. sumatranus
Nama trinomial : Elephas maximus sumatranus (Temminck, 1847)
I. Habitat Gajah Gajah Sumatera
Gajah banyak melakukan pergerakan dalam wilayah jelajah yang luas sehingga menggunakan lebih dari satu tipe habitat hutan.
a. Hutan rawa
Tipe hutan ini dapat berupa rawa padang rumput, hutan rawa primer, atau hutan rawa sekunder yang didominasi oleh Gluta renghas, Campenosperma auriculata, C. Macrophylla, Alstonia spp, dan Eugenia spp.(photo hutan rawa)
b. Hutan rawa gambut
Jenis-jenis vegetasi pada tipe hutan ini antara lain: Gonystilus bancanus, Dyera costulata, Licuala spinosa, Shorea spp., Alstonia spp., dan Eugenia spp.
c. Hutan dataran rendah
Yaitu tipe hutan yang berada pada ketinggian 0-750 m di atas permukaan air laut. Jenis-jenis vegetasi yang dominan adalah jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae. (photo hutan dataran rendah)
d. Hutan hujan pegunungan rendah
Yaitu tipe hutan yang berada pada ketinggian 750-1.500 m di atas permukaan air laut. Jenis-jenis vegetasi yang dominan adalah Altingia excelsa, Dipterocarpus spp., Shorea spp., Quercus spp., dan Castanopsis spp.
II. Persyaratan Hidup di Alam
a. Naungan
Gajah Sumatera termasuk binatang berdarah panas sehingga jika kondisi cuaca panas mereka akan bergerak mencari naungan (thermal cover) untuk menstabilkan suhu tubuhnya agar sesuai dengan lingkungannya. Tempat yang sering dipakai sebagai naungan dan istirahat pada siang hari adalah vegetasi hutan yang lebat . photo: gajah bernaung
b. Makanan
Gajah Sumatera termasuk satwa herbivora sehingga membutuhkan ketersediaan makanan hijauan yang cukup di habitatnya. Gajah juga membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon untuk makanan pelengkap dalam memenuhi kebutuhan mineral kalsium guna memperkuat tulang, gigi, dan gading. Karena pencernaannya yang kurang sempurna, ia membutuhkan makanan yang sangat banyak, yaitu 200-300 kg biomassa per hari untuk setiap ekor gajah dewasa atau 5-10% dari berat badannya.
c. Air
Gajah termasuk satwa yang sangat bergantung pada air, sehingga pada sore hari biasanya mencari sumber air untuk minum, mandi dan berkubang. Seekor gajah Sumatera membutuhkan air minum sebanyak 20-50 liter/hari. Ketika sumber-sumber air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian air sedalam 50-100 cm di dasar-dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya.
d. Garam mineral
Gajah juga membutuhkan garam-garam mineral, antara lain : calcium, magnesium, dan kalium. Garam-garam ini diperoleh dengan cara memakan gumpalan tanah yang mengandung garam, menggemburkan tanah tebing yang keras dengan kaki depan dan gadingnya, dan makan pada saat hari hujan atau setelah hujan.
e. Ruang atau wilayah jelajah (home range)
Gajah merupakan mamalia darat paling besar yang hidup pada zaman ini, sehingga membutuhkan wilayah jelajah yang sangat luas.Ukuran wilayah jelajah gajah Asia bervariasi antara 32,4 - 166,9 km2. Wilayah jelajah unit-unit kelompok gajah di hutan-hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan-hutan sekunder.
f. Keamanan dan kenyamanan
Gajah juga membutuhkan suasana yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak terganggu dan proses reproduksinya dapat berjalan dengan baik. Gajah termasuk satwa yang sangat peka terhadap bunyi-bunyian. Oleh karena itu, penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan HPHA diperkirakan telah mengganggu keamanan dan kenyamanan gajah karena aktivitas pengusahaan dengan intensitas yang tinggi dan penggunaan alat-alat berat di dalamnya.
III. Perilaku Gajah Sumatra
A. Perilaku sosial
1. Hidup berkelompok
Di habitat alamnya, gajah hidup berkelompok (gregarius). Perilaku berkelompok ini merupakan perilaku sosial yang sangat penting peranannya dalam melindungi anggota kelompoknya. Besarnya anggota setiap kelompok sangat bervariasi tergantung pada musim dan kondisi sumber daya habitatnya terutama makanan dan luas wilayah jelajah yang tersedia. Jumlah anggota satu kelompok gajah Sumatera berkisar 20-35 ekor, atau berkisar 3-23 ekor.
Setiap kelompok gajah Sumatera dipimpin oleh induk betina yang paling besar, sementara yang jantan dewasa hanya tinggal pada periode tertentu untuk kawin dengan beberapa betina pada kelompok tersebut. Gajah yang sudah tua akan hidup menyendiri karena tidak mampu lagi mengikuti kelompoknya. Gajah jantan muda dan sudah beranjak dewasa dipaksa meninggalkan kelompoknya atau pergi dengan suka rela untuk bergabung dengan kelompok jantan lain. Sementara itu, gajah betina muda tetap menjadi anggota kelompok dan bertindak sebagai bibi pengasuh pada kelompok "taman kanak-kanak" atau kindergartens.
2. Menjelajah
Secara alami gajah sumatera melakukan penjelajahan dengan berkelompok mengikuti jalur tertentu yang tetap dalam satu tahun penjelajahan. Jarak jelajah gajah bisa mencapai 7 km dalam satu malam, bahkan pada musim kering atau musim buah-buahan di hutan mampu mencapai 15 km per hari. Kecepatan gajah berjalan dan berlari di hutan (untuk jarak pendek) dan di rawa melebihi kecepatan manusia di medan yang sama. Gajah juga mampu berenang menyeberangi sungai yang dalam dengan menggunakan belalainya sebagai "snorkel" atau pipa pernapasan.
Selama menjelajah, kawanan gajah melakukan komunikasi untuk menjaga keutuhan kelompoknya. Gajah berkomunikasi dengan menggunakan soft sound yang dihasilkan dari getaran pangkal belalainya. Dewasa ini ditemukan bahwa gajah juga berkomunikasi melalui suara subsonik yang bisa mencapai jarak sekitar 5 km. Penemuan ini telah memecahkan misteri koordinasi pada kawanan gajah yang sedang mencari makanan dalam jarak jauh dan saling tidak melihat satu sama lain.
3. Kawin
Gajah tidak mempunyai musim kawin yang tetap dan bisa melakukan kawin sepanjang tahun, namun biasanya frekwensinya mencapai puncak bersamaan dengan masa puncak musim hujan di daerah tersebut. Gajah sumatera jantan sering berperilaku mengamuk atau kegilaan yang sering disebut "musht" dengan tanda adanya sekresi kelenjar temporal yang meleleh di pipi, antara mata dan telinga, dengan warna hitam dan berbau merangsang. Perilaku ini terjadi 3-5 bulan sekali selama 1-4 minggu. Perilaku ini sering dihubungkan dengan musim birahi, walaupun belum ada bukti penunjang yang kuat.
B. Perilaku individu Gajah Sumatra
1. Makan
Gajah merupakan mamalia terrestrial yang aktif baik di siang maupun malam hari. Namun, sebagian besar dari mereka aktif dari 2 jam sebelum petang sampai 2 jam setelah fajar untuk mencari makan. Hal ini sependapat bahwa, gajah sering mencari makan sambil berjalan di malam hari selama 16-18 jam setiap hari. la bukan satwa yang hemat terhadap pakan sehingga cenderung meninggalkan banyak sisa makanan bila masih terdapat makanan yang lebih baik.
2. Minum
Pada waktu berendam di sungai, gajah minum dengan mulutnya. Sementara, pada waktu di sungai yang dangkal atau di rawa gajah menghisap dengan belalainya. Gajah mampu menghisap mencapai 9 liter air dalam satu kali isap.
3. Berkubang
Gajah sering berkubang di lumpur pada waktu siang atau sore hari di saat sambil mencari minum. Perilaku berkubang juga penting untuk melindungi kulit gajah dari gigitan serangga ektoparasit, selain untuk mendinginkan tubuhnya.
4. Menggaram (salt lick)
Gajah mencari garam dengan menjilat-jilat benda dan apapun yang mengandung garam dengan belalainya. Gajah juga sering melukai bagian tubuhnya agar dapat menyikat darahnya yang mengandung garam.
5. Beristirahat
Gajah tidur dua kali sehari, yaitu pada tengah malam dan siang hari. Pada malam hari, gajah sering tidur dengan merebahkan diri kesamping tubuhnya, memakai "bantal" terbuat dari tumpukan rumput dan kalau sudah sangat lelah terdengar pula bunyi dengkur yang keras. Sementara itu, pada siang hari gajah tidur sambil berdiri di bawah pohon yang rindang. Perbedaan perilaku ini, mungkin berkaitan dengan kondisi keamanan lingkungan. Apabila kondisinya kurang aman maka gajah akan memilih tidur sambil berdiri, untuk menyiapkan diri jika terjadi gangguan.
IV. Reproduksi Gajah Sumatra
Di dalam pemeliharaan, gajah dapat mencapai umur 70 tahun , dan selama hidupnya gajah jantan tidak terikat pada satu ekor betina pasangannya. Gajah betina siap bereproduksi setelah berumur 8-10 tahun, sementara gajah jantan setelah berumur 12-15 tahun. Gajah betina mempunyai masa reproduksi 4 tahun sekali, lama kehamilan 19-21 bulan dan hanya melahirkan 1 ekor anak dengan berat badan lebih kurang 90 kg. Seekor anak gajah sumatra akan menyusu selama 2 tahun dan hidup dalam pengasuhan selama 3 tahun.
Phylum: Chordata
Subphylum: Vertebrata
Class: Reptilia
Order: Testudine
A3. Family: Chelydridae (Common Snapping Turtle, dan Alligator Snapping Turtle)
A4. Family: Dermatemydidae (White Turtle).
A5. Family: Dermochelyidae (Leatherback Turtle): hidup di Jawa, Bali, Sumatera, Papua. Hanya ada satu jenis suku penyu ini yaitu penyu belimbing (Dermochelys coriacea).
A6. Family: Emydidae (Kura-kura air tawar): yang banyak ditemukan di Indonesia adalah kura-kura telinga merah (Trachemys scripta).
A7. Family: Geoemydidae (Keluarga Testudinae terbesar)
A7.3. Genus: Coura
Species: Coura amboinensis
A7.4. Genus: Callagur
Species: Callagur borneoensis (Critically Endangered)
A7.5. Genus: Geoemyda
Species: Geoemyda spengleri
A7.6. Genus: Heosemys
Species: Heosemys spinosa
(Endangered)
A7.7. Genus: Malayemys
Species: Malayemys Subtrijuga (Vulnerable)
A7.8. Genus: Notochelys
Species: Notochelys platynota (Kura Pipih – Vulnerable)
A7.9. Genus: Orlitia
Species: Orlitia borneensis (Endangered)
A7.10. Genus: Siebenrockiella
Species: Siebenrockiella crassicollis
(Vulnerable)
A7.11. Genus: Leucocephalon
Species: Leucocephalon yuwonoi (Sulawesi Forest Turtle (Critically Endangered):hanya ada di Indonesia.
A7.12. Genus: Hieremys
/ Species: Hieremys annandalii (The Yellow-headed Temple Turtle)
A8. Family: Kinosternidae: Kura-kura air tawar.
A9. Family: Platysternidae - (The Big-headed Turtle): kura-kura pemanjat pohon.
A10. Family: Testudinidae (Tortoise / Kura-kura Darat)
Kura-kura yang masuk dalam famili ini-lah yang seringkali disebut sebagai kura-kura darat sejati, karena hidup sepenuhnya di darat. Kura-kura dari famili ini juga dikenal sebagai kura-kura yang bisa berumur panjang, dan berbadan raksasa. Berikut ini adalah dua jenis kura-kura darat asal Indonesia.
A10.1. Genus: Manouria
Species: Manouria emys (Baning coklat) Berasal dari Sulawesi.
A10.2. Genus: Indotestudo
Species: Indotestudo forstenii (Baning Sulawesi) Berasal dari di Sulawesi.
A11. Family: Trionychidae (Soft-shell Turtles / Labi-labi)
A11.1. Genus: Amyda
Species: Amyda cartilaginea (Bulus) (Vulnerable). Ini dia asal kata ’si akal bulus’ berasal.
A11.2. Genus: Dogania
Species: Dogania Sublana (labi-labi hutan)
A11.3. Genus: Chitra
Species: Chitra chitra (labi-labi bintang) (Critically Endangered)
A11.4. Genus: Pelochelys
Species: Pelochelys bibroni (labi-labi Irian – Vulnerable)
Species: Pelochelys cantorii (labi-labi raksasa – Endangered)
B. SUBORDER: Pleurodira
B1. Family: Chelidae (Kura-kura Leher Ular): Berleher panjang, kepalanya tidak dapat dimasukkan ke dalam cangkang, banyak terdapat di Indonesia bagian Timur, terutama Irian Jaya.
B1.1. Genus: Chelodina (lihat: chelodinae.com)
Species: Chelodina novaeguineae
Species: Chelodina siebenrocki
Species: Chelodina reimanni (Reimann’s Snake-necked Turtle): hanya ada di Indonesia.
Species: Chelodina mccordi (Roti Island Snake-necked Turtle – Critically Endangered): berasal dari Roti Island
Species: Chelodina parkeri (Parker’s Snake-necked Turtle – Vulnerable)
B1.2. Genus: Elseya
Species: Elseya novaeguineae
Species: Elseya branderhorstii (Vulnerable): hanya ada di Indonesia
Species: Elseya schultzei
B1.3. Genus: Emydura
Species: Emydura subglobosa
B2. Family: Pelomedusidae. Anggota suku ini merupakan kura-kura air tawar. Kura-kura ini hidup di Amerika Selatan, Afrika dan Madagaskar dan tidak ditemukan di Indonesia.
update:
water dragon
water dragon, yang konon di kabarkan bersarang di antartika dan sebagian berada di daratan es di greenland. walaupun di sebut naga air namun berbentuk seperti kura-kura, menurut pada ahli dragonologi, kura-kura adalah jenis evolusi trakhir dari naga laut.
Gajah Sumatra (Elephas Maximus Sumatrensis) adalah salah satu dari sub spesies gajah Asia yang memiliki habitat di Pulau Sumatera serta menjadi mamalia terbesar di Indonesia. Seluruh sub spesies gajah Asia merupakan Satwa Terancam Punah (Critically Endangered) sejak tahun 1986 yang tercatat dalam daftar merah Lembaga Konservasi Dunia (IUCN-RedList). Gajah Sumatera menghadapi ancaman serius berpa kegiatan deforestasi hutan, pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, perburuan gading gajah, maupun pembunuhan akibat konflik gajah-manusia. Percepatan konversi hutan menjadi perkebunan dan tanaman komersial mengancam kelangsungan hidup populasi gajah sumatra dalam jangka panjang. Saat ini populasi gajah sumatera berkisar antara 2.400 - 2.800 ekor yang tersebar di beberapa kantong populasi. Sama seperti Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) yang juga terancam punah, kedua sedang diupayakan konserasi alam habitat dan kelangsungan hidupnya di Taman Nasional Tesso Nilo Riau (TNTN-Riau).
Hewan yang berjenis jantan dapat mencapai tinggi 1,7-2,6 meter dengan berat 4-6 ton serta memiliki gading gajah sumatra jantan yang lebih pendek dari spesies gajah Asia lainnya terutama Gajah India yang memiliki postur tubuh yang besar. Sedangkan gajah Sumatra betina memiliki gading yang sangat pendek dan tersembungi di balik bibir atasnya. Gajah Sumatra (Elephas Maximus Sumatrenus) biasa berjalan menjelajah sejauh 20 km per hari untuk mencari makan berupa daun-daun. Dalam sehari gajah butuh 150kg daun-daunan dan 180 liter air minum. Herbivora raksasa ini dapat berumur sampai 70 tahun di alam liar dan sangat cerdas karena memiliki otak yang lebih besar dibandingkan dengan mamalia darat lain. Telinga yang cukup besar membantu gajah mendengar dengan baik dan membantu mengurangi panas tubuh seperti darah panas dingin ketika mengalir di bawah permukaan telinga. Belalainya digunakan untuk mendapatkan makanan dan air, dan memiliki tambahan dapat memegang (menggenggam) di ujungnya yang digunakan seperti jari untuk meraup.
Belalai dan Gading Gajah Sumatera
Flying Squad Gajah Sumatra Tesso Nilo - Riau
Anak Gajah Sumatra
Mengenal Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatrenus)
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Proboscidea
Famili : Elephantidae
Genus : Elephas
Spesies : E. maximus
Upaspesies : E. m. sumatranus
Nama trinomial : Elephas maximus sumatranus (Temminck, 1847)
I. Habitat Gajah Gajah Sumatera
Gajah banyak melakukan pergerakan dalam wilayah jelajah yang luas sehingga menggunakan lebih dari satu tipe habitat hutan.
a. Hutan rawa
Tipe hutan ini dapat berupa rawa padang rumput, hutan rawa primer, atau hutan rawa sekunder yang didominasi oleh Gluta renghas, Campenosperma auriculata, C. Macrophylla, Alstonia spp, dan Eugenia spp.(photo hutan rawa)
b. Hutan rawa gambut
Jenis-jenis vegetasi pada tipe hutan ini antara lain: Gonystilus bancanus, Dyera costulata, Licuala spinosa, Shorea spp., Alstonia spp., dan Eugenia spp.
c. Hutan dataran rendah
Yaitu tipe hutan yang berada pada ketinggian 0-750 m di atas permukaan air laut. Jenis-jenis vegetasi yang dominan adalah jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae. (photo hutan dataran rendah)
d. Hutan hujan pegunungan rendah
Yaitu tipe hutan yang berada pada ketinggian 750-1.500 m di atas permukaan air laut. Jenis-jenis vegetasi yang dominan adalah Altingia excelsa, Dipterocarpus spp., Shorea spp., Quercus spp., dan Castanopsis spp.
II. Persyaratan Hidup di Alam
a. Naungan
Gajah Sumatera termasuk binatang berdarah panas sehingga jika kondisi cuaca panas mereka akan bergerak mencari naungan (thermal cover) untuk menstabilkan suhu tubuhnya agar sesuai dengan lingkungannya. Tempat yang sering dipakai sebagai naungan dan istirahat pada siang hari adalah vegetasi hutan yang lebat . photo: gajah bernaung
b. Makanan
Gajah Sumatera termasuk satwa herbivora sehingga membutuhkan ketersediaan makanan hijauan yang cukup di habitatnya. Gajah juga membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon untuk makanan pelengkap dalam memenuhi kebutuhan mineral kalsium guna memperkuat tulang, gigi, dan gading. Karena pencernaannya yang kurang sempurna, ia membutuhkan makanan yang sangat banyak, yaitu 200-300 kg biomassa per hari untuk setiap ekor gajah dewasa atau 5-10% dari berat badannya.
c. Air
Gajah termasuk satwa yang sangat bergantung pada air, sehingga pada sore hari biasanya mencari sumber air untuk minum, mandi dan berkubang. Seekor gajah Sumatera membutuhkan air minum sebanyak 20-50 liter/hari. Ketika sumber-sumber air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian air sedalam 50-100 cm di dasar-dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya.
d. Garam mineral
Gajah juga membutuhkan garam-garam mineral, antara lain : calcium, magnesium, dan kalium. Garam-garam ini diperoleh dengan cara memakan gumpalan tanah yang mengandung garam, menggemburkan tanah tebing yang keras dengan kaki depan dan gadingnya, dan makan pada saat hari hujan atau setelah hujan.
e. Ruang atau wilayah jelajah (home range)
Gajah merupakan mamalia darat paling besar yang hidup pada zaman ini, sehingga membutuhkan wilayah jelajah yang sangat luas.Ukuran wilayah jelajah gajah Asia bervariasi antara 32,4 - 166,9 km2. Wilayah jelajah unit-unit kelompok gajah di hutan-hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan-hutan sekunder.
f. Keamanan dan kenyamanan
Gajah juga membutuhkan suasana yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak terganggu dan proses reproduksinya dapat berjalan dengan baik. Gajah termasuk satwa yang sangat peka terhadap bunyi-bunyian. Oleh karena itu, penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan HPHA diperkirakan telah mengganggu keamanan dan kenyamanan gajah karena aktivitas pengusahaan dengan intensitas yang tinggi dan penggunaan alat-alat berat di dalamnya.
III. Perilaku Gajah Sumatra
A. Perilaku sosial
1. Hidup berkelompok
Di habitat alamnya, gajah hidup berkelompok (gregarius). Perilaku berkelompok ini merupakan perilaku sosial yang sangat penting peranannya dalam melindungi anggota kelompoknya. Besarnya anggota setiap kelompok sangat bervariasi tergantung pada musim dan kondisi sumber daya habitatnya terutama makanan dan luas wilayah jelajah yang tersedia. Jumlah anggota satu kelompok gajah Sumatera berkisar 20-35 ekor, atau berkisar 3-23 ekor.
Setiap kelompok gajah Sumatera dipimpin oleh induk betina yang paling besar, sementara yang jantan dewasa hanya tinggal pada periode tertentu untuk kawin dengan beberapa betina pada kelompok tersebut. Gajah yang sudah tua akan hidup menyendiri karena tidak mampu lagi mengikuti kelompoknya. Gajah jantan muda dan sudah beranjak dewasa dipaksa meninggalkan kelompoknya atau pergi dengan suka rela untuk bergabung dengan kelompok jantan lain. Sementara itu, gajah betina muda tetap menjadi anggota kelompok dan bertindak sebagai bibi pengasuh pada kelompok "taman kanak-kanak" atau kindergartens.
2. Menjelajah
Secara alami gajah sumatera melakukan penjelajahan dengan berkelompok mengikuti jalur tertentu yang tetap dalam satu tahun penjelajahan. Jarak jelajah gajah bisa mencapai 7 km dalam satu malam, bahkan pada musim kering atau musim buah-buahan di hutan mampu mencapai 15 km per hari. Kecepatan gajah berjalan dan berlari di hutan (untuk jarak pendek) dan di rawa melebihi kecepatan manusia di medan yang sama. Gajah juga mampu berenang menyeberangi sungai yang dalam dengan menggunakan belalainya sebagai "snorkel" atau pipa pernapasan.
Selama menjelajah, kawanan gajah melakukan komunikasi untuk menjaga keutuhan kelompoknya. Gajah berkomunikasi dengan menggunakan soft sound yang dihasilkan dari getaran pangkal belalainya. Dewasa ini ditemukan bahwa gajah juga berkomunikasi melalui suara subsonik yang bisa mencapai jarak sekitar 5 km. Penemuan ini telah memecahkan misteri koordinasi pada kawanan gajah yang sedang mencari makanan dalam jarak jauh dan saling tidak melihat satu sama lain.
3. Kawin
Gajah tidak mempunyai musim kawin yang tetap dan bisa melakukan kawin sepanjang tahun, namun biasanya frekwensinya mencapai puncak bersamaan dengan masa puncak musim hujan di daerah tersebut. Gajah sumatera jantan sering berperilaku mengamuk atau kegilaan yang sering disebut "musht" dengan tanda adanya sekresi kelenjar temporal yang meleleh di pipi, antara mata dan telinga, dengan warna hitam dan berbau merangsang. Perilaku ini terjadi 3-5 bulan sekali selama 1-4 minggu. Perilaku ini sering dihubungkan dengan musim birahi, walaupun belum ada bukti penunjang yang kuat.
B. Perilaku individu Gajah Sumatra
1. Makan
Gajah merupakan mamalia terrestrial yang aktif baik di siang maupun malam hari. Namun, sebagian besar dari mereka aktif dari 2 jam sebelum petang sampai 2 jam setelah fajar untuk mencari makan. Hal ini sependapat bahwa, gajah sering mencari makan sambil berjalan di malam hari selama 16-18 jam setiap hari. la bukan satwa yang hemat terhadap pakan sehingga cenderung meninggalkan banyak sisa makanan bila masih terdapat makanan yang lebih baik.
2. Minum
Pada waktu berendam di sungai, gajah minum dengan mulutnya. Sementara, pada waktu di sungai yang dangkal atau di rawa gajah menghisap dengan belalainya. Gajah mampu menghisap mencapai 9 liter air dalam satu kali isap.
3. Berkubang
Gajah sering berkubang di lumpur pada waktu siang atau sore hari di saat sambil mencari minum. Perilaku berkubang juga penting untuk melindungi kulit gajah dari gigitan serangga ektoparasit, selain untuk mendinginkan tubuhnya.
4. Menggaram (salt lick)
Gajah mencari garam dengan menjilat-jilat benda dan apapun yang mengandung garam dengan belalainya. Gajah juga sering melukai bagian tubuhnya agar dapat menyikat darahnya yang mengandung garam.
5. Beristirahat
Gajah tidur dua kali sehari, yaitu pada tengah malam dan siang hari. Pada malam hari, gajah sering tidur dengan merebahkan diri kesamping tubuhnya, memakai "bantal" terbuat dari tumpukan rumput dan kalau sudah sangat lelah terdengar pula bunyi dengkur yang keras. Sementara itu, pada siang hari gajah tidur sambil berdiri di bawah pohon yang rindang. Perbedaan perilaku ini, mungkin berkaitan dengan kondisi keamanan lingkungan. Apabila kondisinya kurang aman maka gajah akan memilih tidur sambil berdiri, untuk menyiapkan diri jika terjadi gangguan.
IV. Reproduksi Gajah Sumatra
Di dalam pemeliharaan, gajah dapat mencapai umur 70 tahun , dan selama hidupnya gajah jantan tidak terikat pada satu ekor betina pasangannya. Gajah betina siap bereproduksi setelah berumur 8-10 tahun, sementara gajah jantan setelah berumur 12-15 tahun. Gajah betina mempunyai masa reproduksi 4 tahun sekali, lama kehamilan 19-21 bulan dan hanya melahirkan 1 ekor anak dengan berat badan lebih kurang 90 kg. Seekor anak gajah sumatra akan menyusu selama 2 tahun dan hidup dalam pengasuhan selama 3 tahun.
Burung Cendrawasih Burung Surga (Bird of Paradise)
Burung Cendrawasih layak digelari sebagai Burung Surga (Bird of Paradise).
Burung Cendrawasih yang merupakan burung khas Papua, terutama yang
jantan, memiliki bulu-bulu yang indah layaknya bidadari yang turun dari
surga (kayangan). Keindahan bulu Cendrawasih tiada duanya.
Burung Cendrawasih merupakan sekumpulan
spesies burung yang dikelompokkan dalam famili Paradisaeidae. Burung
yang hanya terdapat di Indonesia bagian timur, Papua Nugini, dan
Australia timur ini terdiri atas 14 genus dan dan sekitar 43 spesies.
30-an spesies diantaranya bisa ditemukan di Indonesia.
Oleh masyarakat Papua, burung cendrawasih
dipercaya sebagai titisan bidadari dari surga. Dulunya burung ini
dianggap sebagai burung cantik tetapi tidak berkaki. Mereka tidak akan
turung ke tanah tetapi hanya berada di udara saja lantaran bulu-bulunya
yang indah. Karena itu kemudian burung Cenderawasih terkenal sebagai Bird of Paradise atau Burung Surga (Kayangan). Dan beberapa jenis yang terkenal adalah dari genus Paradisaea yang penamaannya berasal dari kata Paradise.
Diskripsi dan Ciri Cendrawasih.
Burung-burung Cendrawasih mempunyai ciri khas bulunya yang indah yang
dimiliki oleh burung jantan. Umumnya bulunya berwarna cerah dengan
kombinasi beberapa warna seperti hitam, cokelat, kemerahan, oranye,
kuning, putih, biru, hijau dan ungu.
Ukuran burung Cenderawasih beraneka
ragam. Mulai dari yang berukuran 15 cm dengan berat 50 gram seperti pada
jenis Cendrawasih Raja (Cicinnurus regius), hingga yang berukuran sebesar 110 cm Cendrawasih Paruh Sabit Hitam (Epimachus albertisi) atau yang beratnya mencapai 430 gram seperti pada Cendrawasih Manukod Jambul-bergulung (Manucodia comrii).
Keindahan bulu Cendrawasih jantan
digunakan untuk menarik perhatian lawan jenis. Untuk ‘merayu’ betina
agar bersedia diajak kawin, burung jantan akan memamerkan bulunya dengan
melakukan tarian-tarian indah. Sambil bernyanyi di atas dahan, pejantan
bergoyang dengan berbagai gerakan ke berbagai arah. Bahkan terkadang
hingga bergantung terbalik bertumpu pada dahan. Namun, tiap spesies
Cendrawasih tentunya punya tipe tarian tersendiri.
Burung Cendrawasih mempunyai habitat hutan
lebat yang umumnya di daerah dataran rendah. Burung dari surga ini
dapat dijumpai di beberapa pulau di Indonesia bagian timur seperti
Maluku dan Papua. Selain itu juga dapat ditemukan di Papua Nugini dan
Australian Timur.
Jenis-jenis Burung Cendrawasih.
Cenrawasih terdiri atas 13 genus yang mempunyai sekitar 43 spesies
(jenis). Indonesia merupakan negara dengan jumlah spesies Cendrawasih
terbanyak. Diduga sekitar 30-an jenis Cendrawasih bisa ditemukan di
Indonesia. Dan 28 jenis diantaranya tinggal di pulau Papua.
Beberapa jenis Cendrawasih yang terdapat di Indonesia diantaranya adalah:
-
Cendrawasih Gagak (Lycocorax pyrrhopterus); endemik Maluku.
-
Cendrawasih Panji (Pteridophora alberti); Papua
-
Cendrawasih Kerah (Lophorina superba); Papua
-
Cendrawasih Paruh-sabit Kurikuri (Epimachus fastuosus); Papua.
-
Cendrawasih Botak (Cicinnurus respublica); endemik pulau Waigeo, Raja Ampat.
-
Cendrawasih Raja (Cicinnurus regius); Papua dan pulau sekitar.
-
Cendrawasih Belah Rotan (Cicinnurus magnificus); Papua (Indonesia dan Papua Nugini).
-
Bidadari Halmahera (Semioptera wallacii); endemik Maluku.
-
Cendrawasih Mati Kawat (Seleucidis melanoleuca); Papua.
-
Cendrawasih Kuning Kecil (Paradisaea minor); Papua (Indonesia dan Papua Nugini).
-
Cendrawasih Kuning Besar (Paradisaea apoda); Papua (Indonesia dan Papua Nugini).
-
Cendrawasih Raggiana (Paradisaea raggiana); Papua (Indonesia dan Papua Nugini).
-
Cendrawasih Merah (Paradisaea rubra); endemik pulau Waigeo, Indonesia.
-
Toowa Cemerlang (Ptiloris magnificus); Indonesia, Papua Nugini, dan Australia.
-
Manukodia Mengkilap (Manucodia ater); Indonesia dan Papua Nugini.
-
Paradigala Ekor-panjang (Paradigalla carunculata); Papua.
-
Astrapia Arfak (Astrapia nigra); endemik Papua, Indonesia.
-
Parotia Arfak (Parotia sefilata); endemik Papua, Indonesia.
-
Pale-billed Sicklebill (Drepanornis bruijnii); Indonesia dan Papua Nugini.
Burung Cendrawasih Mati Kawat (Seleucidis melanoleuca) ditetapkan menjadi Fauna Identitas provinsi Papua.
Dan beberapa jenis seperti Cendrawasih Raja, Cendrawasih Botak,
Cendrawasih Merah, Toowa, dan Cendrawasih Kuning Kecil, telah masuk
dalam daftar jenis satwa yang dilindungi berdasarkan UU No 5 Tahun 1990
dan PP No 7 Tahun 1999.
Sayangnya populasi burung Cendrawasih semakin hari semakin terancam dan langka akibat perburuan dan perdagangan liar yang terus berlangsung.
Klasifikasi ilmiah. Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Aves; Ordo: Passeriformes; Famili: Paradisaeidae; Genus: Lycocorax,
Pteridophora, Lophorina, Epimachus, Cicinnurus, Semioptera, Seleucidis,
Paradisaea, Ptiloris, Manucodia, Paradigalla, Astrapia, Drepanornis, dan Parotia. Spesies: lihat artikel.